Senin, 04 Januari 2016

Pragmatisme dan Filsafat Hidup



Pragmatisme dan Filsafat Hidup
Dalam perkembangan berikutnya muncul tokoh di Amerika yang lahir pada tahun 1842, yaitu William James. Pemikiran yang dicetuskannya adalah aliran atau paham yang menitik beratkan bahwa kebenaran ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan memperhatikan kegunaannya secara praktis. Tokoh lain dalam paham ini adalah John Dewey dan F. C. S. Schiller.
Bagi Willian James (1842-1910) pengertian atau putusan itu benar, jika pada praktek dapat dipergunakan. Putusan yang tak dapat dipergunakan keliru. Kebenaran itu sifat pengertian atau putusan bukanlah sifat halnya. Pengertian atau putusan itu benar, tidak saja jika dibuktikan artinya dalam keadaan jasmani ini, akan tetapi jika bertindak (dapat dipergunakan) dalam lingkungan ilmu, seni dan agama. Bukunya yang terkenal ialah Pragmatisme (1907).
Tokoh ini juga berjasa dalam bidang lain, terutama dalam pemikiran psikologi. Dalam bidang ini ia berhasil membantah pemikiran lama tentang kesadaran. Di dalam filsafat menurut James, akal dengan segala perbuatannya dilakukan oleh perbuatan. Akal dan segala perbuatannya itu hanya berfungsi sebagai pemberi informasi bagi praktek hidup dan sebagai pembuka jalan baru bagi perbuatan-perbuatan kita. Segara akal telah memberi informasi serta telah membuka jalan baru bagi perbuatan kita, kita mendapatkan suatu keyakinan sementara, yang disebut dengan “kepercayaan”, yang merupakan persiapan langsung yang kita perlkan bagi perbuatan.
Di dalam bukunya “The Meaning of Truth”, atau “arti kebenaran” James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang bersifat umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu tiada kebenaran yang mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Seperti yang telah dikembangkan, akal atau pemikiran mendapat tujuan dalam perbuatan. Selain itu pemikiran dapat juga menyesuaikan diri dengan tuntutan kehendak dan tututan perbuatan. Hal ini mengakibatkan dari apa yang diperlukan oleh pengalaman kita, sesuai dengan kemauan kita sendiri. Jadi sebagian dari dunia ini adalah hasil kita sendiri. Dunia bukanlah sesuatu yang telah selesai, melainkan sesuatu yang terus-menerus menjadi seperti halnya dengan pemikiran kita adalah sesuatu arus yang mengalir., suatu sistem perhubungan-perhubungan.
Pemikiran James tersebut sejalan dengan Dewey. Bagi John Dewey (1859-1952) tidak ada sesuatu yang tetap. Manusia itu bergerak dalam kesungguhan yang selalu berubah. Jika ia dalam pada itu mengalami kesulitan, maka mulai lah ia berpikir untuk mengatasi kesulitan masalah itu. Maka dari itu berpikir tidaklah lain pada alat untuk bertindak. Pengertian itu lahir dari pengalaman. Kebenarannya hanya dapat ditinjau dari berhasil tidaknya memengaruhi kesungguhan. Dalam pendidikan pun Dewey banyak pengaruhnya.
Dalam pandangan ini maka benar ialah apa yang pada akhirnya disetujui oleh semua oarng yang menyelidikinya. Kebenaran ditegaskan dalam istilah-istilah penyelidikan. Kebenaran sama sekali bukan hal yang ditentukan tidak boleh diganggu gugat, sebab dalam prakteknya kebenaran memiliki nilai fungsional yang tetap. Segala pernyataan yang kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah.
Mengenal adalah berbuat. Kadar kebenarannya akan tampak dari pengujinya oleh pengalaman-pengalaman di dalam praktek. Satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah metode induktif. Metode ini bukan hanya berlaku bagi ilmu pengetahuan fisika, melainkan juga bagi persoalan-persoalan sosial dan moral. Sedangakan filsafat hidup dipelopori oleh Henri Bergson (1859-1941). Menurut Bergson hidup adalah tenaga eksplosif yang telah ada sejak permulaan dunia, kemudian terus berkembang dengan penentangan materi. Pandangan Bergson dalam hal ini memang agak rumit untuk dipahami.
Bergson meyakini adanya evaluasi yang dipandangnya sebagai suatu perkembangan yang menciptakan, yang meliputi semua kesadaran, semua hidup, semua kenyataan dimana di dalam perkembangannya senantiasa menciptakan bentuk-bentuk yang baru dengan menghasilkan kekayaan baru pula. Akan tetapi evolusi dalam pandangan Bergson tidak terikat kepada keharusan sebagaimana keharusan yang terdapat dalam hukum konsolitas yang mekanis.
Sumber:
Sudarsono, Drs. 2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar