Pragmatisme dan Filsafat Hidup
Pragmatisme
dan Filsafat Hidup
Dalam perkembangan
berikutnya muncul tokoh di Amerika yang lahir pada tahun 1842, yaitu William
James. Pemikiran yang dicetuskannya adalah aliran atau paham yang menitik
beratkan bahwa kebenaran ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai yang benar
dengan memperhatikan kegunaannya secara praktis. Tokoh lain dalam paham ini
adalah John Dewey dan F. C. S. Schiller.
Bagi Willian James
(1842-1910) pengertian atau putusan itu benar, jika pada praktek dapat
dipergunakan. Putusan yang tak dapat dipergunakan keliru. Kebenaran itu sifat
pengertian atau putusan bukanlah sifat halnya. Pengertian atau putusan itu
benar, tidak saja jika dibuktikan artinya dalam keadaan jasmani ini, akan
tetapi jika bertindak (dapat dipergunakan) dalam lingkungan ilmu, seni dan
agama. Bukunya yang terkenal ialah Pragmatisme (1907).
Tokoh ini juga berjasa
dalam bidang lain, terutama dalam pemikiran psikologi. Dalam bidang ini ia
berhasil membantah pemikiran lama tentang kesadaran. Di dalam filsafat menurut James,
akal dengan segala perbuatannya dilakukan oleh perbuatan. Akal dan segala
perbuatannya itu hanya berfungsi sebagai pemberi informasi bagi praktek hidup
dan sebagai pembuka jalan baru bagi perbuatan-perbuatan kita. Segara akal telah
memberi informasi serta telah membuka jalan baru bagi perbuatan kita, kita
mendapatkan suatu keyakinan sementara, yang disebut dengan “kepercayaan”, yang
merupakan persiapan langsung yang kita perlkan bagi perbuatan.
Di dalam bukunya “The
Meaning of Truth”, atau “arti kebenaran” James mengemukakan bahwa tiada
kebenaran yang mutlak, yang bersifat umum, yang bersifat tetap, yang berdiri
sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus,
dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa
berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi
oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu tiada kebenaran yang mutlak, yang
ada adalah kebenaran-kebenaran yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman
yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Seperti yang telah
dikembangkan, akal atau pemikiran mendapat tujuan dalam perbuatan. Selain itu
pemikiran dapat juga menyesuaikan diri dengan tuntutan kehendak dan tututan
perbuatan. Hal ini mengakibatkan dari apa yang diperlukan oleh pengalaman kita,
sesuai dengan kemauan kita sendiri. Jadi sebagian dari dunia ini adalah hasil
kita sendiri. Dunia bukanlah sesuatu yang telah selesai, melainkan sesuatu yang
terus-menerus menjadi seperti halnya dengan pemikiran kita adalah sesuatu arus
yang mengalir., suatu sistem perhubungan-perhubungan.
Pemikiran James
tersebut sejalan dengan Dewey. Bagi John Dewey (1859-1952) tidak ada sesuatu
yang tetap. Manusia itu bergerak dalam kesungguhan yang selalu berubah. Jika ia
dalam pada itu mengalami kesulitan, maka mulai lah ia berpikir untuk mengatasi
kesulitan masalah itu. Maka dari itu berpikir tidaklah lain pada alat untuk
bertindak. Pengertian itu lahir dari pengalaman. Kebenarannya hanya dapat
ditinjau dari berhasil tidaknya memengaruhi kesungguhan. Dalam pendidikan pun
Dewey banyak pengaruhnya.
Dalam pandangan ini
maka benar ialah apa yang pada akhirnya disetujui oleh semua oarng yang
menyelidikinya. Kebenaran ditegaskan dalam istilah-istilah penyelidikan.
Kebenaran sama sekali bukan hal yang ditentukan tidak boleh diganggu gugat,
sebab dalam prakteknya kebenaran memiliki nilai fungsional yang tetap. Segala
pernyataan yang kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah.
Mengenal adalah
berbuat. Kadar kebenarannya akan tampak dari pengujinya oleh
pengalaman-pengalaman di dalam praktek. Satu-satunya cara yang dapat dipercaya
untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah
metode induktif. Metode ini bukan hanya berlaku bagi ilmu pengetahuan fisika,
melainkan juga bagi persoalan-persoalan sosial dan moral. Sedangakan filsafat
hidup dipelopori oleh Henri Bergson (1859-1941). Menurut Bergson hidup adalah
tenaga eksplosif yang telah ada sejak permulaan dunia, kemudian terus berkembang
dengan penentangan materi. Pandangan Bergson dalam hal ini memang agak rumit
untuk dipahami.
Bergson meyakini adanya
evaluasi yang dipandangnya sebagai suatu perkembangan yang menciptakan, yang
meliputi semua kesadaran, semua hidup, semua kenyataan dimana di dalam
perkembangannya senantiasa menciptakan bentuk-bentuk yang baru dengan
menghasilkan kekayaan baru pula. Akan tetapi evolusi dalam pandangan Bergson
tidak terikat kepada keharusan sebagaimana keharusan yang terdapat dalam hukum
konsolitas yang mekanis.
Sumber:
Sudarsono, Drs. 2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta:
Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar